SEKILAS INFO
  • 4 tahun yang lalu / Ayoo makmurkan masjid kita…
WAKTU :

TAWAKKUL KARMAN  IBU REVOLUSI (Muslimah Pertama yang memperoleh Nobel Perdamaian)

Terbit 7 July 2019 | Oleh : admin | Kategori :
TAWAKKUL KARMAN  IBU REVOLUSI (Muslimah Pertama yang memperoleh Nobel Perdamaian)

(Muslimah Pertama yang memperoleh Nobel Perdamaian)

Tanggal 10 Desember 2011 di Oslo, Norwegia, pada acara pemberian hadiah Nobel Perdamaian dilangsungkan, ada suasana yang terasa unik, dibandingkan acara pada tahun-tahun sebelumnya. Nobel Perdamaian memang diberikan setiap tahun, namun pada tahun 2011 menjadi sedikit berbeda, karena pemenangnya ada tiga orang sekaligus. Hebohnya lagi dari ketiga orang itu ternyata semuanya adalah kaum perempuan. Tidak di pungkiri bahwa Hadiah Nobel sebelumnya memang banyak di dominasi kaum pria.

Tiga perempuan hebat tersebut adalah: Pertama, Ellen Johnson Sirleaf, saat menerima Nobel perempuan kharismatik ini adalah pejabat Presiden Liberia. Sosok kedua adalah Leymah Gbowee juga berasal dari Liberia. Ia dikenal sebagai seorang Pekerja Sosial dan aktivis HAM, penganjur perdamaian yang menjadi kunci dalam proses penyelesaian perang sipil di Liberia.  Adapun tokoh ketiga adalah Tawakkul Karman dari Yaman, seorang aktivis perempuan dan jurnalis yang kritis.

Thorbjorn Jagland, Ketua Komite Nobel Perdamaian dalam pernyataannya menyebut bahwa: Ellen Johnson-Sirleaf dan Leymah Gbowee dinominasikan karena dinilai telah berhasil mengakhiri perang saudara di negara mereka yang telah berkecamuk selama 13 tahun. Sementara Tawakkul Karman dinilai sebagai salah satu tokoh paling penting dalam gerakan protes di Yaman, yang dibelakang hari mampu menjungkalkan diktator Yaman yang telah berkuasa lebih dari 32 tahun.[i]

Pada Edisi kali ini, kita akan mencoba bekenalan lebih jauh dengan salah satu penerima Nobel tersebut yakni Tawakkul Karman. Nama lengkapnya adalah: Tawakkul Abdel Salam Karman, lahir pada 7 Februari 1979 di Mekhlaf, Yaman. Saat menerima Nobel, usia Tawakkul Karman masih tergolong muda, 32 tahun, bahkan penerima Nobel Perdamaian termuda pada masa sebelum 2011. Tawakkul merupakan perempuan Arab pertama yang memperoleh penghargaan prestisius itu.

Tawakkul Karman lahir dari kalangan keluarga yang cukup terpandang. Ayahnya, Abdel Salam, adalah politikus kenamaan dan pernah menjabat sebagai menteri negara urusan hukum dan parlemen, namun ia mundur dari kursi menteri yang didudukinya karena ketidak-sesuaian dengan kebijakan diktator Presiden Ali Abdullah Saleh.  Darah politisi inilah yang nampaknya mengalir pada diri perempuan cantik ini. Tawakkul menyelesaikan pendidikan tingginya di Universitas Sanaa dalam disiplin ilmu politik, kampus paling ternama di Yaman pada saat itu.

Berkarir sebagai Jurnalis

Setelah menamatkan pendidikannya, Tawakkul kemudian merintis karir sebagai wartawan. Pemahaman atas ilmu politik dan responnya atas realitas politik di negaranya membuat Tawakkul berpikir harus melakukan sesuatu atas situasi politik yang tidak ideal itu. Menjadi wartawan adalah pilihan yang dia pikir strategis, dimana ia mampu mengakses perkembangan politik secara lebih luas, sekaligus bisa menyampaikan opini pribadinya terkait berita dan situasi yang berkembang. Profesi wartawan juga memberikan pekerjaan yang membuatnya mampu mandiri secara ekonomi.

Latar belakang keluarganya yang berafiliasi ke Ikhwanul Muslimin (IM) nampaknya memberikan perspektif yang luas kepada Tawakkul, sehingga ia tidak hanya puas berkarir sebagai jurnalis, namun ia juga sadar kekuatan media dan profesinya dalam arus perubahan politik. Pemikiran inilah yang kemudian membuat Tawakkul mengorganisasi para jurnalis perempuan dalam wadah yang ia beri nama Woman Journalists Without Chains (Jurnalis Perempuan tanpa Belenggu) bersama tujuh perempuan lainnya, organisasi ini menjadi wadah yang sangat getol dalam perjuangan HAM terutama terkait isu kebebasan berpendapat dan demokratisasi. Woman Journalists Without Chains (WJWC) di dirikan pada tahun 2005, kiprah WJWC dan Tawakkul makin mendapat perhatian pemerintah pada saat mereka memberikan dukungan pada layanan berita telepon genggam kepada masyarakat luas, sementara pemerintahan yang otoriter menganggap akses berita melalui telpon genggam bagi masyarakat luas adalah ancaman bagi kelangsungan rezim.

WJWC pada tahun 2007, jauh sebelum Arab spring berhembus telah gencar melakukan berbagai demonstrasi yang memberikan kritik keras pada kekuasaan Presiden Ali Abdullah Saleh. Hebatnya, demo itu ia galang dan ia lakukan satu minggu satu kali, setiap hari selasa. Tentu kegiatannnya ini membikin penguasa menjadi gerah. Sementara Tawakkul menjadi semakin populer dan berpengaruh luas. Ia pun kerap mengalami penangkapan oleh aparat, namun tidak pernah lama, kemudian dibebaskan lagi.

Memilih Jalan Damai

Ketika tuntutan perubahan formasi kekuasaan melanda banyak kawasan di Timur Tengah yang dikenal dengan sebutan Arab spring pada tahun 2009 – 2012, Yaman juga terimbas gelombang tersebut. Gerakan yang telah dirintis oleh Tawakkul semenjak tahun 2005 pun  menjadi kian mendapatkan dukungan luas, gelombang demonstrasi silih berganti menuntut Presiden Ali Abdullah Saleh untuk meletakkan jabatannya.

Tawakkul Karman menjadi tokoh yang paling populer dalam arus perubahan itu. Namun pilihan gerakan Tawakkul tidak berubah. Sedari awal ia telah memilih jalan damai menuju perubahan. Sehingga demonstrasi yang ia pimpin juga menghindari sejauh mungkin potensi tumbuhnya anarkisme.

Sikap anti kekerasan dan memilih jalan damai mungkin dilatari oleh kepribadiannya sebagai seorang wanita dan Ibu dari tiga orang anak, tapi bisa juga karena pertimbangan yang sangat rasional dan berdasar pada wawasan yang dalam. Di kantornya, siapapun yang berkunjung tentu akan disapa oleh foto tokoh-tokoh populer dunia semacam Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, Martin Luther King, dan lain-lain. Foto itu ia pampang di ruang kerjanya bukan sekedar sebagai pajangan, tapi itu adalah pesan tentang jalan perjuangan yang dipilihnya: jalan damai !

Pengaruhnya yang luas dalam setiap kali gerakan massa, membuat ia di juluki oleh masyarakat Yaman sebagai “Ibu Revolusi”. Kemunculannya di tengah dominasi budaya politik laki-laki dan kaum perempuan yang masih mengalami marginalisasi politik memang sensasional. Ia muda, cantik, pemberani, dan memiliki lidah yang fasih, tentulah menjadi pesona tersendiri. Wajar jika kemudian ia menjadi ikon perlawanan yang begitu dicintai massa.

Dengan peran dan kapasitas politiknya itu, Tawakkul sudah barang  menjadi musuh penting penguasa sehingga penanggkapan dan upaya pembunuhan pun menjadi risiko yang mengiringi hari-hari perjuangannya. Di tangkap aparat sudah terlalu sering, bahkan pada tahun 2010 pada saat ia memimpin sebuah demonstrasi besar, seorang perempuan yang diyakini sebagai suruhan penguasa mencoba menikam Tawakkul dengan Jambiya (belati tradisional dari Yaman). Beruntung tikaman itu gagal melukai Tawakkul karena para pendukungnya menangkis serangan tersebut.

Puncaknya, pada bulan Januari 2011 saat ia berada di mobilnya, aparat polisi menangkap Tawakkul. Rupanya Presiden Ali Abdullah Saleh makin panik dengan perkembangan politik dan demonstrasi menuntut pemunduran dirinya yang makin meningkat.  Salah satu langkah yang ia pikir mampu meredam situasi adalah dengan melumpuhkan sang ikon gerakan, yakni Tawakkul Karman. Tetapi langkah paniknya ini justru menjadi blunder.

Massa yang mengetahui peristiwa penangkapan itu langsung melakukan konsolidasi gerakan. Demo besar pun tak terelakkan.  Tarik ulur antara pendemo yang seperti mendapatkan momentum dari jatuhnya para kepala negara di Tunisia, Mesir, dan Libya dan situasi di dalam negeri  dengan sikap keras kepala Presiden Yaman berjalan dinamis selama kurang lebih satu tahun.  Akhirnya, Februari 2012, Ali Abdullah Saleh mundur dari jabatannya sebagai Presiden Yaman setelah lebih dari 32 tahun berkuasa, tanpa banyak penumpahan darah. Revolusi Melati begitu Tawakkul Karman menyebut revolusi ini.

Aktivis Partai dan Hak Perempuan

Tawakkul Karman adalah sosok yang multi-dimensi. Ia wartawan, juga aktivis dakwah, penggiat HAM dan aktivis politik. Tawakkul adalah anggota dan aktivis partai Al-Islah, yang merupakan partai oposisi terbesar di Yaman. Kelompok Islam garis keras umumnya juga tidak terlalu suka pada Tawakkul Karman, apalagi ketika ia mulai menyuarakan hak-hak kaum perempuan dan menuntut kepada partainya agar memperjuangkan undang-undang batas dini pernikahan.

Tawakkul ingin anak perempuan dilarang menikah sebelum usia mereka mencapai 17 tahun, melalui partainya ia memperjuangkan isu ini agar menjadi undang-undang. Kalangan Islam garis keras bahkan menjulukinya sebagai Wanita Besi karena kiprah politiknya yang dinilai melampaui kepatutan sebagai muslimah.

Tawakkul tak bergeming dengan tudingan-tudingan tersebut. Ia pernah mendapat kecaman serupa pada saat ia memutuskan membuka niqab (cadar) pada wajah yang ia kenakan semenjak remaja dan masa kuliah. Saat itu ia menjelaskan bahwa niqab bukanlah bagian dari ajaran Islam, karena Islam tidak menyebut wajah sebagai aurat. Niqab adalah tradisi arab. Tawakkul tetap konsisten dengan jilbabnya tanpa niqab, karena jilbab adalah pakaian terbaik dan ajaran agamanya.

Atas keberanian dan perjuangannya dalam memajukan hak-hak kaum perempuan serta pilihan damai sebagai jalan perjuangan membuat ia dinominasikan sebagai pemenang Nobel Perdamaian tahun 2011. Hebatnya, ketika Nobel ia raih dan mendapatkan hadiah yang sangat besar, Tawakkul Karman menyetorkan hadiah tersebut ke Badan Amil Zakat, ia ingin uang tersebut digunakan untuk menyantuni para janda dan keluarga yang menjadi korban dalam peristiwa revolusi melati. hta

 

 

*Artikel pernah dimuat di majalah EduKrasi (Edukasi Demokrasi), edisi Juli  2016, Terbitan Konrad Adenauer Stiftung-Universitas Paramadina

 

[i] http://www.dw.com/id/tiga-perempuan-pegiat-hak-sipil-peroleh-nobel-perdamaian/a-15443828

SebelumnyaNIGGELA SATIVA SesudahnyaRezeki Mata Uji Madrasah Kehidupan

Artikel Lainnya