SEKILAS INFO
  • 4 tahun yang lalu / Ayoo makmurkan masjid kita…
WAKTU :

BUNG HATTA

Terbit 2 July 2019 | Oleh : admin | Kategori :
BUNG HATTA

Tuhan terlalu cepat semua …Kau panggil satu-satunya yang tersisa, Proklamator tercinta

Jujur, lugu, dan bijaksana…. Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa rakyat indonesia

Hujan air mata dari pelosok negeri… Saat melepas engkau pergi..

Berjuta kepala tertunduk  haru

Terlintas nama seorang sahabat yang tak lepas dari namamu

Terbayang baktimu, Terbayang jasamu, Terbayang jelas jiwa sederhanamu….

Bernisan bangga, Berkafan doa…

Dari kami yang merindukan orang sepertimu

 

Sungguh penggambaran yang sangat tepat dari musisi Iwan Fals tentang sosok Muhammad Hatta, Sang proklamator. Bung Hatta memang dikenal sebagai sosok negarawan-intelektual yang cenderung  sederhanan dalam menjalani hidup. Meskipun kiprah, jasa, dan karyanya begitu agung bagi Republik Indonesia tetapi Bung Hatta tetap sosok yang sederhana.

Karena kesederhanaannya itu, Bung Hatta memang tidak dikenang seheboh orang mengenang Bung Karno. Hatta Nampak lebih tertarik untuk berbuat dan berkarya, Ia tidak sibuk atau terobsesi untuk mewariskan idiologi-politik tertentu, agar suatu hari nanti orang akan tetap menjadi pengikut fanatiknya, meski sebagai ekonom-filosof dan praktisi politik, sesungguhnya ia mampu untuk melakukan itu semua.

Pada bulan Maret kemarin, Bung Hatta telah genap 30 tahun meninggalkan kita semua dan Republik yang telah kita warisi ini. Memperingati 65 tahun merdeka pada Agustus 2010 ini, dimana mayoritas rakyat Indonesia belum dapat dikatakan sejahtera perekonomiannya, kita jadi teringat banyak dengan gagasan-gagasan Bung Hatta. Risalah ini tidak ingin menampilkan kembali data administratif tokoh  besar ini, karena artikel dan buku sejarah telah mendokumentasikannya dengan sangat akurat perjalanan hidup, pendidikan, dan karirnya.

Membaca Bung Hatta

Apa kira-kira yang dipikirkan oleh Dr. Mohammad Hatta, ketika melihat rakyat Indonesia terkepung oleh sistem kapitalis internasional seperti dewasa ini, pasar tradisional tergusur oleh Mal-mal kaum kapitalis yang merangsek terus hingga ke pinggiran kota, konsep koperasi yang digagasnya tidak pernah benar-benar diimplementasikan sehingga kerap disebut sebagai bentuk ideal ekonomi namun rapuh pembinaan manajerialnya.

Gagasan ekonomi kerakyatan yang telah lebih dari 76 tahun lalu disuarakannya sebagai bentuk perlawanan atas ekonomi kolonial Belanda yang tidak berpihak kepada rakyat juga cenderung sekedar menjadi wacana yang terdengar sayup-sayup. Para ekonom dan politisi yang saat ini berperan penting di Republik ini nampaknya skeptis atas konsep ekonomi kerakyatan yang pernah digagasnya itu, namun tak jua kungjung berhasil memajukan dan mensejahterakan ekonomi rakyat dengan mengekor pada gagasan dan ekonomi kapitalistik.

Mencermati ulang gagasan-gagasan Dr. Mohammad Hatta secara utuh dalam bingkai Indonesia yang resah secara sosial-politik hari ini nampaknya menjadi penting. Dr. Sritua Arief, dalam bukunya yang berjudul Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat (2002), mengajarkan kepada kita untuk melihat gagasan Mohammad Hatta secara utuh, yang menurutnya esensi pemikiran Bung Hatta terdiri atas dua aspek dasar yang tidak terpisahkan, yakni transformasi ekonomi dan transformasi sosial.

Menelaah dan merealisasikan gagasan Bung Hatta hanya akan utuh jika mendudukkannya pada aspek dasar itu secara seimbang. Gagasan ekonomi kerakyatan dan koperasi misalnya, hanya akan powerfull jika dilihat dalam dinamika transformasi ekonomi dan transformasi sosial sekaligus. Ia menjadi tidak relevan jika didengungkan dalam aspek ekonomi belaka.

Bung Hatta sebagai teladan

Mohammad Hatta adalah pemimpin besar dengan segudang nilai keteladanan yang harus kita warisi. Beliau nampaknya memang emoh untuk dielukan secara berlebihan, oleh karenanya tidak perlulah kita mengelu-elukannya. Mungkin dia akan lebih suka jika kita mau meniru beberapa sikapnya, tentu saja bukan untuk kepentingannya tapi untuk meningkatkan kualitas kepriadian kita masing-masing.

Bagi kita orang-orang yang bergerak dalam bidang pendidikan, ada beberapa hal yang patut kita warisi dari sikap Bung Hatta. Pertama, Kegemarannya belajar dan membaca buku. Bung Hatta orang yang tidak suka ngobrol tidak karuan, beliau selalu memanfaatkan waktu luang yang ada untuk membaca buku. Ketika di buang ke Digul dan Banda Neira pun, Hatta tidak melupakan untuk membawa serta buku-buku koleksinya.

Ketika di pembuangan itu pula, sebagaimana dituturkan oleh Prof. Dr. Deliar Noer, dalam bukunya yang berjudul Membincangkan Tokoh tokoh Bangsa (2001),  Hatta menjadikan membaca dan menulis sebagai pekerjaan. Saking seriusnya dalam membaca dan menulis, Bung Hatta bahkan tidak mau menerima tamu pada jam-jam tersebut, rekan-rekan lain sesama kaum buangan harus mengatur waktu sedemikian rupa untuk bisa berbincang dengan Bung Hatta.

Kedua, disiplin dan tepat waktu. Hidup Bung Hatta memang ditata dengan baik. Beliau sangat terkenal sebagai orang dengan disiplin yang sangat tinggi. Kaum pendidik di Indonesia saat ini mestinya meneladani betul sikap Bung Hatta dalam membangun disiplin dan memanfaatkan waktu.

Teladan Politik

1 Desember 1956 mungkin tidak banyak diingat oleh orang sebagai sebuah momen politik yang penting dan sarat keteladanan. Hari dan tanggal tersebut, Bung Hatta resmi mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Masyarakat ketika itu kaget, bagaimana mungkin Dwi-tunggal Soekarno-Hatta mengalami keretakan.

Ketika itu Bung Hatta melihat dan merasakan langsung, betapa praktik demokrasi parlementer ia nilai telah kebablasan sehingga semakin menjauhkan Republik Indonesia dari praktik demokrasi yang ideal. Bung Hatta mulai sering bersebrangan dengan Presiden Soekarno, bahkan melakukan berbagai kritik tajam tidak hanya kepada presiden tetapi juga pada elemen pemerintahan demokrasi yang lain semacam partai-partai politik yang ada pada waktu itu.

Puncaknya ketika Presiden Soekarno yang didukung oleh militer dan Partai Komunis Indonesia secara berlahan namun pasti mengarahkan sistem demokrasi kita kearah demokrasi terpimpin, di mana peran Presiden dalam hal ini akan semakin dominan. Bung Hatta berada pada puncak ketidak-setujuannya, sementara pembatasan konstitusi atas kedudukannya yang sekedar sebagai simbol saja tidak memungkinkannya untuk mengambil peran yang lebih besar. Bung Hatta pun mundur dari jabatan empuk Wakil Presiden.

Ketika sudah tidak menduduki Wapres, Hatta semakin kuat mengkritik kebijakan Pemerintah yang ia nilai melanggar konstitusi. Tapi kritiknya itu ia sampaikan dengan argumen yang baik dan tertulis. Hatta tidak mau bersikap profokatif atau turun ke jalan dengan mengadu massa pendukung. Ia tetap melakukannya dengan sikap elegan layaknya cendikiawan berbeda pandangan.

Jiwa besarnya sebagai politisi terlihat kembali, terutama terkait dengan perbedaan pandangannya dengan Presiden Soekarno, ketika beliau menghadiri undangan Universitas California, Barkeley, Amerika Serikat. Pada waktu itu beliau menyampaikan kuliah umum dan ditanya oleh mahasiswa Amerika tentang pendapat beliau mengenai Presiden Soekarno.

Bung Hatta sebagaimana di tuturkan Emil Salim, yang ketika itu juga mahasiswa di universitas tersebut, mengatakan: Dalam beberapa hal harus saya akui saya sering berbeda pendapat dengan Bung Karno. Tetapi Bung Karno adalah Presiden Republik Indonesia, negara yang kami perjuangkan bertahun-tahun secara bersama-sama. Sebagai warga negara Republik Indonesia yang ditegakkan atas dasar Pancasila tentu saya harus mematuhi perintah pemimpinnya. Ini tidak mengurangi hormat saya pada Bung Karno. Presiden dari Negara yang saya cintai (Meutia Hatta: 1981)

Berbeda secara tajam, tetapi tetap menjunjung tinggi batas-batas etika, tidak dendam, tidak profokatif, dan mengutamakan kepentingan nasional adalah warisan penting Bung Hatta bagi para politisi kita hari ini. (HTA)

*Artikel pernah dimuat di majalah EduKrasi (Edukasi Demokrasi), edisi April  2015, Terbitan Konrad Adenauer Stiftung-Universitas Paramadina

SebelumnyaAutisme SesudahnyaNIGGELA SATIVA

Artikel Lainnya